Matanya mengerjap, sinar terang langsung menyambutnya
dari arah jendela besar di depannya. Tirai putih menjuntai sampai lantai
tersibak oleh angin segar yang menelusuk masuk. Sekali lagi ia mengerjap,
menyadarkan dirinya kalau hari sudah beranjak siang. Dengan sekejap mata
tubuhnya sudah tak berada di atas kasur. Berlari dengan paniknya masuk ke dalam
kamar mandi.
Suara gemercik air terdengar saling beradu. Di dalam
ruangan kecil berukuran 3x3 meter sudah seperti ada perang besar. Sangat
berisik, belum juga terdengar suara benda jatuh berkali-kali. Tak berapa lama
pintu itu terbuka memperlihatkan seorang gadis dengan seragam lengkap. Atasan
putih bawahan abu-abu dan dasi yang menggantung di lehernya. Wajah paniknya
masih belum lepas, mungkin malah bertambah parah.
“MAMA, TAS YUVI KEMANA?!” Gadis itu berteriak kencang
setelah kesana kemari tidak juga menemukan tas putih miliknya.
“Mama mana tahu, coba cari di dalam lemari,” jawab
Mama Yuvi dari arah dapur.
Secepat kilat Yuvi langsung membuka pintu lemari kayu
yang ada di sebelah kasurnya. Hebat! Bagaimana bisa Mama tahu tasnya berada di
sana padahal beliau tidak menghampiri ke kamarnya. The Power of Emak-emak! Yuvi
mengambil tas itu dan segera ia isi dengan berbagai macam buku, sangat acak
yang penting membawa buku.
Setelah selesai menggunakan sepatu dan merapikan
rambutnya, ia keluar kamar dengan sangat tergesa. Jarum jam sudah menunjukkan
pukul setengah tujuh, 15 menit sebelum bel masuk berbunyi. Gadis itu lari
terbirit-birit menghampiri Mamanya yang sedang asik memasak. Tangannya terlurur
untuk menyalimi Mama.
“Mama cepetan, nanti Yuvi telat,” geram Yuvi karena
tak kunjung mendapat balasan.
Sedangkan Mama Yuvi menatap anaknya dengan tatapan
bingung. Ada apa ini pagi-pagi minta disalami, pakai seragam lengkap pula.
Mungkin seperti itu isi pikiran perempuan paruh baya itu.
Merasa ada yang salah ia membuka suara setelah
mematikan kompor yang di atasnya terdapat panik berisi rebusan air. “Kamu mau
kemana kok pakai seragam lengkap?”
“Ish Mama, kalau pake seragam ya jelas mau ke
sekolah.” Yuvi menggerutu keras dengan wajah memerah. Sudah terlambat bangun,
perlu menghadapi Mamanya yang menyebalkan lagi. Sungguh sial harinya.
“Kam–” Ucapannya terhenti karena Yuvi sudah lebih dulu
berlari keluar dengan teriakan menggelegarnya.
“Mama lama, Yuvi berangkat dulu nanti telat!
Assalamualaikum!”
Ia menggeleng tak percaya. Sebenarnya apa yang terjadi
dengan anaknya? Atau jangan-jangan Yuvi dirasuki arwah gentayangan.
Membayangkannya saja sudah membuat tubuhnya bergidik ngeri. Perhatiannya
kembali pada berbagai macam sayuran yang sudah ia potong di atas talenan.
Biarkan anaknya sadar sendiri.
Tok. Tok. Tok.
Tubuhnya bergerak mondar-mandir dengan jemari yang
saling memijat. Kepalanya langusng menoleh ke arah pintu yang sudah dibuka si
pemilik. Syukur sahabatnya masih di rumah, ia tidak akan terlambat sendirian.
Perempuan berambut pendek dan… Kenapa sahabatnya ini memakai masker? Bukankah
sahabatnya ini sangat anti memakai masker? Ada apa sebenarnya? Komplek rumahnya
juga sepi, Ibu-ibu yang biasa bergosip sambil menyapu juga tidak ia lihat.
“Lon, kok kamu ga pake seragam? Ayo buruan nanti
telat!” Kata Yuvi yang menggundang tatapan binggung di wajah Lona – sahabat
Yuvi.
“Kamu juga kok segala pake masker, lagi jerawatan
kamu?” cerocos Yuvi dengan wajah sebal.
Lona mundur beberapa langkah ketika Yuvi berusaha
menggapai lengan tangannya. “Bentar deh, Yuv. Ini kamu ngelindur atau gimana?”
Lihat, mereka sama-sama menampilkan wajah kebingungan.
Lona yang yang tiba-tiba menghindar ketika ia ingin meraih tangan gadis itu,
semakin membuat otaknya pusing. Dunia sedang ada masalah apa? Rasanya ada yang
aneh, atau malah dirinya yang aneh? Entahlah, ia hanya ingin cepat sampai
sekolah sebelum bel masuk berbunyi dan itu 10 menit lagi.
“Apa sih, Lon! Kamu cepetan ganti bentar lagi masuk
sekolah kan.”
Lona manggut-manggut berhasil mencerna sikap aneh
sahabatnya. “Tenang dulu Yuv, ini kamu pasti telat bangun?” Yuvi mengangguk
sebagai balasan tentu dengan muka lugunya.
“Pantes, kamu ga inget apa kita ini lagi dilanda
pandemi. Kepalamu itu habis kebentur apa?”
Kedua bola matanya mendelik dengan kagetnya. Ia menpuk
jidatnya keras, ada apa dengannya sebenarnya. Pantas komplek rumahnya sepi,
Lona yang menggunakan masker dan Mama yang kebingungan ketika diajak salaman.
Rasanya sangat malu, sudah keluar terbirit-birit dengan panik, menggunakan
seragam legkap pula. Sudah lengkap membuat pipinya merona merah. Ia merutuki
dirinya sendiri dalam hati. Sifat pelupanya sungguh sangat parah.
“Aduh, kenapa lagi aku bisa lupa! Otakku sepertinya
perlu di benahi.”
Lona tertawa menanggapi kecerobohan sahabatnya ini.
“Kamu ini! Sana balik, kamu ga pake masker bahaya tau di luar rumah.” Lona
memperingati.
Mulut Yuvi maju beberapa senti. “Ngusir ceritanya?
Malu banget aku mau balik, pasti Mama ketawain aku nanti.”
“Masa bodo’ Yuv, bye!” Dengan tidak sopannya
Lona langsung menutup pintu dan masuk ke dalam rumah. Dasar sahabatnya memang
sangat menyebalkan. Kalau ia tidak kenal dekat dengan Lona sudah pasti rambut
gadis itu sudah ia jambak dengan membabi buta.
Dengan mengendap-endap ia kembali berjalan ke rumahnya
yang hanya berjarak satu nomor dari rumah Lona. Sampai di depan pintu rumahnya
ia membukanya pelan, takut Mamanya tahu. Mau taruh mana nanti wajahnya.
Berhasil! Misi membuka pintu dengan perlahan sukses besar. Sekarang hanya tinggal
berjalan lurus masuk lalu berbelok ke kanan masuk ke kamarnya. Tapi sialnya ia
harus melewati dapur terlebih dahulu, suara ricuh dari sana sudah memastikan
bahwa Mama masih sibuk bergelut di dapur.
Ia menarik napasnya dalam-dalam. Berjinjit ia berjalan
mendekat ke arah kamarnya. Mama sedang asik menggoreng bawang, aromanya sungguh
sangat nikmat. Bukan! Tujuannya masuk ke kamar tanpa ketahuan bukannya malah
terlena dengan aroma masakan Mama. Tangannya sudah siap memutar knop pintu.
“Sudah sadar?” tanya Mama mengagetkan Yuvi. Gadis itu
meloncat kaget dan mengelus dadanya.
Dengan cengiran ia berbalik menatap Mama, mengusap
tengkuknya yang tidak gatal. Siap-siap sebentar lagi pasti Mama akan ketawa.
Lihat Mama sedang pemanasan dengan membuka mulutnya lebar dan tak selang lama
tawa keras Mama terdengar.
“HAHAHAHA!” Tuhkan benar!
Yuvi mencebikkan bibirnya. “Mama kenapa ga kasih tahu
Yuvi, aku jadi malu tadi sama Lona.”
Masih dengan tawa yang tersisa Mama membalas. “Gimana
mau kasih tahu, orang kamunya udah lari keluar. Mana muka kamu panik banget,
haha!”
“Ya, bayangin deh, Ma. Bangun-bangun lihat udah jam
06.20, siapa yang ga panik?”
Mama mematikan kompornya takut gosong. “Kamu itu kayak
baru sehari libur karena pandemi. Udah masuk 2 bulan Yuvi dan kamu masih belum
kebiasaan?”
“Kayaknya gara-gara tadi malem mimpi telat masuk ke
sekolah, jadi parno,” balas Yuvi sambil menarik kursi di ruang makan yang
bersebelahan dengan dapur.
Mama kembali menghidupkan kompornya dan memasukkan
tempe cincang dan juga kangkung hijau yang tampak segar. Yuvi hanya menatap
Mama yang sibuk mengaduk dengan sendok sayur, ia tidak tahu apa-apa dengan
dunia memasak. Ia lebih memilih membersihkan satu rumah daripada harus
berhadapan dengan dapur. Bisa kebakaran rumahnya nanti.
“Lain kali jangan sampai lupa! Kamu keluar ga pake
masker bisa didenda kamu nanti, paling parahnya bisa kena virus. Bayanginya
bikin takut,” ucap Mama di sela-sela memasak.
Lagi-lagi Yuvi merutuki dirinya. Bersamaan ia juga
berharap virus itu tidak masuk ke tubuhnnya. Covid-19, mendengarnya saja
membuat sekujur tubuhnya lemas seketika. Bagaimana tidak, banyak pasien yang
kehilangan nyawa karena terkena virus. Ia tidak ingin mati muda, masa depannya
masih panjang.
Kepalanya menggeleng mengusir semua pikiran buruk. Ia
kembali menatap jam dinding yang sudah menunjukkan pukul tujuh tepat. Menarik
napas lega karena semua itu hanya karena kecerobohannya. Namun hatinya tidak
tenang, masih ada hal yang mengganjal. Ia mendongak berpikir sejenak.
Tubuhnya menegang seketika. Berdiri dengan hebohnya
sampai kursi yang tadi ia duduki jatuh ke belakang. Tidak memedulikan kursi
itu, ia langsung berlari masuk ke kamarnya. Mencomot ponselnya yang ada di atas
meja belajar dan membuka grup kelasnya.
Kini ia benar-benar panik. Ia telat mengikuti kelas
yang dilaksanakan secara daring. Pertemuan online sudah dimulai sejak 15
menit yang lalu. Terima nasib saja, selain tertinggal pelajaran laman untuk
absen sudah di tutup sejak 5 menit lalu. Sungguh tidak mengenakan, kehadirannya
kosong di hari pertama sekolah setelah libur satu minggu.
Dengan lemas ia duduk di kursi yang berada di depan
meja belajar. Ingin marah karena gurunya terlalu ketat tapi ia juga salah.
Kenapa juga hari pertama harus guru itu yang mengajar. Ia tidak bisa masuk pada
laman pertemuan daring karena sudah ditutup, absen juga tidak bisa. Berakhirlah
ia hanya menatap layar ponselnya dengan miris. Sedetik kemudian ia berteriak
sebal.
“MAMA AKU BENERAN TELAT, HUA!”
Oleh: Husna Felisa Cahyani
Sumber Gambar:
People vector created by stories -www.freepik.com
Clock vector created by freepik -www.freepik.com
School vector created by freepik -www.freepik.com